Djohermansyah Djohan:

Dana Desa Bisa Dipolitisasi

Dana Desa Bisa Dipolitisasi

JAKARTA (HR) - Mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansjah Djohan tidak menampik jika pengucuran dana desa bisa dipolitisasi oleh calon kepala daerah petahana dalam Pilkada Serentak 2015.

Bahkan menurut Djohermansyah, terkait masalah dana desa tersebut sudah dimanfaatkan untuk

kepentingan politik oleh calon legislatif (caleg) petahana pada Pemilu Legislatif 2014 lalu yang dalam kampanye mengiming-imingi setiap desa dapat Rp1 miliar.

“Jadi tidak mustahil dalam Pilkada Serentak yang akan digelar 9 Desember mendatang, dana desa ini menjadi gula-gula bagi calon petahana dalam kampanyenya,” kata Djohermansyah Djohan dalam diskusi “Pencairan Dana Desa Menjelang Pilkada Serentak 2015”, di gedung DPD RI, Rabu (11/11).

Padahal kata Djohermansyah, dana desa Rp1 miliar tersebut tidak ada sama sekali dengan perjuangan kepala daerah. Karena itu ia mengingatkan masyarakat yang memiliki hak suara dalam Pilkada Serentak 2015 tidak terpengaruh jika ada calon kepala daerah yang dalam kampanyenya menyebutkan bahwa dana desa adalah hasil perjuangannya. “Masyarakat harus tahu bahwa dana desa itu bukan perjuangan dari kepala daerah,” tegas Djohermansyah.

Anggota DPD RI  Abdul Aziz Kafia berharap dana desa yang akan dicairkan menjelang Pilkada serentak tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik, karena dana desa tersebut penggunaannya harus sesuai dengan program pembangunan dan sesuai dengan amanat UU itu sendiri.

“Jangan sampai dana desa itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik menjelang Pilkada serentak, baik oleh kepala daerah maupun kepala desa. Menurut amanat UU No.6/2014, dana itu harus dicairkan untuk pembangunan di desa,” tegas Abdul Aziz Kafia.

Peneliti politik LIPI Siti Zuhro menyatakan ketidakherannya kalau terjadi politisasi terhadap dana desa, karena UU desa sendiri sebagai produk politik dan sudah menjadi keputusan politik, di mana UU itu disahkan menjelang pemilu 2014.

Karena itu ia menilai wajar kalau dana desa itu terjadi tarik-menarik diantara kementerian sendiri. “Seharusnya dana desa itu ditangani oleh kementerian kependudukan. Tapi, yang terjadi Mendagri mengurus administrasi dan Menteri PDT mengurus uang untuk 74 ribu desa,” kata Siti Zuhro.

Pengajar ilmu politik UI Chusnul Mariyah masih melihat celah untuk penyalahgunaan dana desa tersebut karena tidak secara tegas mengatur penggunaannya, seperti penggunaan tidak prioritas yang harus mendapat persetujuan bupati. “Hanya saja ada yang tidak prioritas, inilah yang bisa dimanfaatkan dimana penggunaannya cukup mendapat persetujuan bupati,” kata Chusnul. (sam)