MASYARAKAT MERANTI BERHARAP

Ada Kelonggaran Kebijakan Lalu Lintas Barang Masuk

Ada Kelonggaran Kebijakan Lalu Lintas Barang Masuk

SELATPANJANG (HR)- Masyarakat Selatpanjang beberapa bulan belakangan ini merasakan sulitnya ekonomi. Berbagai bahan kebutuhan pokok mulai dari beras, gula, kacang dan beberapa komoditi lainnya terkesan mahal.

Kesulitan itu terjadi sejak keran masuknya barang bahan sembako dari Tanjung Balai Karimun dipersulit. Sehingga umumnya para pedagang harus belanja kebutuhan sembako dari Pulau Jawa.
Mengambil berbagai kebutuhan dasar hidup dari Pulau Jawa itu, mengakibatkan terjadinya kemahalan harga-harga yang berimbas pada tingginya angka inflasi di Meranti.

Demikian diungkapkan Aheng warga Selatpanjang kepada Haluan Riau di Selatpanjang Minggu kemarin. Pedagang ini mengatakan, sejak menjelang akhir tahun 2014 lalu, keran barang masuk dari Tanjung Balai Karimun distop.
Seluruh bahan-bahan kebutuhan rumah tangga atau bahan sembako yang biasa selama ini bisa dibawa dari daerah yang termasuk daerah pelabuhan bebas itu, menjadi terlarang.


Walaupun posisi Kepulauan Meranti pada dasarnya sama-sama terletak di daerah pesisir. Seperti posisi Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang, Tanjung Batu dan Moro, apalagi Selatpanjang dari dulunya juga sudah dikenal dengan istilah perdagangan lintas batas itu.
Sejak keran ditutup, maka para pengusaha atau pedagang dari Kepulauan Meranti terpaksa membeli bahan-bahan sembako dari Pulau Jawa atau dari daerah lainnya. Berangkat ke pulau Jawa untuk membeli sembako itu, tentu saja akan menimbulkan berbagai kesulitan.

Antara lain, harga yang menjadi mahal, karena biaya atau ongkos kapal yang cukup jauh itu tentu akan menambah harga bagi satuan barang yang akan dijual. Kita berharap kesulitan atas berbagai bahan sembako yang terjadi akibat penyetopan masuknya barang ke Meranti itu hendaknya ditinjau kembali. Jika kebijakan ini berkelanjutan, maka masyarakat Meranti akan semakin sulit.
Ekonomi akan semakin terpuruk, karena Meranti tidak memiliki potensi sebagai penghasil produk pertanian yang bisa menutupi seluruh kebutuhan masyarakat. "Terutama akan berdampak sulit bagi suku Tionghoa yang membutuhkan buah segar dalam melakukan ritual sembahyang, seperti pada kegiatan tahun baru Imlek,”tuturnya.(jos)