Kabut Asap dan Kinerja Ekonomi Daerah

Kabut Asap dan Kinerja Ekonomi Daerah

Selama hampir dua bulan terakhir ini Provinsi Riau bermandikan asap. Sudah lebih dari dua pekan, anak sekolah di Pekanbaru, Pelalawan, Bengkalis, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu diliburkan  sekolah.

 Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan tersebut, memberikan tiga dampak negatif, yakni tercemarnya lingkungan, terganggunya kesehatan manusia dan melemahkan roda perekonomian daerah.

Secara spesifik dampak yang di timbulkan dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi Riau, yakni terhadap sosial, budaya dan ekonomi, yang mana sejumlah masyarakat yang berada di sekitar hutan akan kehilangan mata pencahariannya.

Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu lagi melakukan aktivitasnya seperti biasanya.

 Kerugian yang terjadi di provinsi Riau akibat kabut asap tidak ternilai dalam Rupiah.

 Luas lahan yang terbakar saat ini sudah mencapai 3.200 ha. Misalnya, tahun 2014 lalu, luas areal yang terbakar lebih dari 60.000 ha dan penderita ISPA lebih dari 60.000 orang. Berdasarkan kajian Bank Dunia, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap di provinsi Riau sebesar Rp20 triliun untuk tahun 2014.

Karena asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut pastilah mengganggu aktivitas masyarakat yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya.

 Setelah bencana kebakaran hutan dan lahan tersebut berakhir dapat dipastikan bahwa masyarakat akan kehilangan sejumlah areal dimana mereka biasanya mengambil dan mendapatkan hasil hutan.

Kabut asap yang terjadi di provinsi Riau (juga di Jambi, Sumsel dan sebagian Kalimantan), tentu membawa konsekwensi  yakni terganggunya proses distribusi barang dari pabrik kepada konsumen akibat  terganggunya jaringan transportasi.

 Kabut asap yang berkepanjangan misalnya, telah menyebabkan pasokan barang industri terlambat termasuk mengganggu proses produksi barang.
 
Bahkan keterlambatan distribusi barang akibat dari kabut asap tersebut akan menyebabkan ekspor terganggu.

  Selanjutnya inflasi bisa menaik, dan jika berlangsung terus-menerus selama beberapa bulan ke depan akan menurunkan aktivitas produksi pertanian dan industri manufaktur.
   
Apabila ekspor terganggu sebagai konsekwensi dari penurunan produksi maka neraca perdagangan juga akan terganggu. Keadaan ini juga akan diikuti pula oleh terganggunya transaksi berjalan.  Jika tidak ada solusi, maka berakibat pada semakin anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang kuat dunia, teritama dollar Amerika.  

Artinya, hal ini dapat dijadikan alasan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika yang tadinya sudah menguat berbalik melemah menjadi Rp14.500 pada minggu kedua September 2015.

 Efek domino kabut asap adalah saat musim hujan kekeringan saat musim kemarau akan mengganggu ketahanan pangan yang mendorang kran impor beras dan pangan lainnya dibuka setiap tahun.

  Bentuk kegiatan impor pangan ini tentu menghabiskan devisa yang tidak sedikit jumlahnya menyebabkan semakin turunnya nilai Rupiah.

Seharusnya, pemerintah-dunia usaha-masyarakat dapat belajar dari pengalaman masa lalu. Sejak 17 tahun yang lalu, daerah ini dihadapkan kepada persoalan yang sama yakni kebakaran hutan dan lahan.  Kabut asap ini berulang-ulang dari tahun ke tahun.

  Kegiatan pencegahannya kalah cepat dengan kegiatan perusakan hutan dan lahan.   
Kabut asap ditenggearai  sebagai sebuah bencana alam akibat ulah manusia.

  Alih fungsi hutan yang tak terbendungkan seiring dengan pesatnya pembangunan perkebunan dan pertambangan.  Implikasinya, kebakaran hutan dan lahan yang terus-menerus di daerah  dengan hutan yang sudah gundul selalu saja identik  dengan ancaman berikutnya yakni banjir.

Perubahan iklim yang selalu berujung pada bencana alam seyogianya menjadi tantangan dan dijadikan momen penting untuk merancang program revitalisasi ekonomi dalam mewujudkan ketahanan ekonomi.
 
Ketahanan ekonomi bermuara pada  stabilitas nasional. Kabut asap tahun ini memiliki arti penting untuk disimak-dihayati-dipikirkan agar meningkatkan  kesadaran semua pihak atas perusakan hutan dan lahan yang memicu perubahan iklim yang semakin besar pengaruhnya terhadap terjadinya bencana alam.  

Limabelas tahun terakhir,  ekspansi perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan alasan terhadap cepatnya laju penurunan jumlah luasan hutan di daerah ini.
 
Penurunan luasan hutan ini telah merugikan di sisi perkembangan lingkungan.  Dampak langsungnya adalah  perubahan iklim pada sector pertanian, penurunan produktivitas lahan karena terganggunya siklus air, perubahan pola hujan, dan peningkatan frekwensi anomaly cuaca-ekstrem yang mengakibatkan pergeseran musim tanam.
 
Fakta-fakta ilmiah menunjukkan bahwa bumi semakin panas dan kehidupan manusia semakin tidak nyaman.   Permasalahan besar lainnya, semakin banyak orang yang kehilangan tempat tinggal, akibat serangan badai, banjir, kekeringan, dan bencana ekologi lain.
 
Ancaman krisis pangan global yang mendorong ke arah kelaparan yang semakin tidak terhindarkan di tengah masyarakat.  Pemanasan global ekstrem yang dipicu oleh pembalakan liar guna meningkatkan produksi biodiesel berbasis sawit bisa mengancam stabilitas ketahanan pangan di masa mendatang.

Terdapat dua alasan penting tentang  perlunya membangun ketahanan ekonomi masyarakat terhadap kabut asap akibat kebakaran hutan dan dan lahan. Pertama, ketahanan berasal dari kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan, ketidakpastian, dan kejutan.
 
Manusia dan alam adalah dua bagian yang terpisahkan.   Artinya, jika upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan hanya dititik-beratkan pada upaya fisik seperti memadamkan api, menghutankan kembali lahan dan membangun fungsi sosial ekonomi kemasyarakatan yang dipaksakan, hasilnya hanya akan mengurangi daya tahan masyarakat terhadap bencana alam. Diperlukan perubahan paradigma manajemen bencana.   

Kedua, pembangunan secara gradual dan perubahan dinamis sesuai dengan kondisi yang dihadapi merupakan dua aspek yang saling melengkapi. Jika belajar dari gangguan terhadap ekosistem, ketahanan ekonomi akan muncul dari proses pembelajaran dari gangguan atau kejutan yang dialami.

Dengan demikian, bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan bisa dianggap sebagai agen untuk mendorong terbangunnya ketahanan ekonomi.

 Pengalaman dari bencana yang dialami menciptakan kesempatan bagi pemerintah (daerah) dan masyarakatnya untuk menyesuaikan struktur internal mereka, untuk membangun pengetahuan dan strategi menghadapi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang dapat diakumulasi sepanjang waktu.

  Nilai-nilai kebersamaan mesti dikembalikan kepada bagaimana kebudayaan rakyat mempertahankan dirinya tanpa komando politik, semoga (*).