Berstatus Anggota Aktif Hingga Oktober 2015

Sutarman Berpotensi Desersi

Sutarman Berpotensi Desersi

Jakarta (HR)-Presiden Jokowi memberhentikan secara terhormat Jenderal Sutarman sebagai Kepala Kepolisian RI sejak Jumat (16/1).

 Meski, sang jenderal masih terhitung sebagai petugas aktif hingga Oktober 2015, Presiden belum memberikan status kepadanya.Guru Besar Universitas Pertahanan, Salim Said, mempertanyakan nasib Jenderal Sutarman pascapemberhentian.

 Jika tidak memiliki jabatan dalam waktu 30 hari sejak diberhentikan, Sutarman akan dianggap membelot.

"Menurut mantan wakapolri Komjen (Purn) Drs Oegroseno, kalau 30 hari ia tidak ada jabatan, dia dianggap desersi (membelot)," kata Salim, Sabtu (17/1) saat berdiskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Salim mengatakan, hingga saat ini Presiden Jokowi belum memperjelas status mantan kapolri.

 "Tentu ada pertanyaan, lalu mau diapakan Jenderal Sutarman. Jadi di mana ia akan ditempatkan oleh Jokowi?" katanya.
Seperti diketahui, Jenderal Sutarman telah diberhentikan dengan hormat sebagai Kapolri.

 Presiden Joko Widodo pun telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemberhentian Sutarman.
 
Presiden juga mengeluarkan keppres terkait pengangkatan Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti sebagai Pelaksana tugas (Plt) Kapolri menggantikan Sutarman.

Kegelisahan

Oegroseno menilai proses pergantian dan penunjukan calon Kapolri saat ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Proses penunjukan calon Kapolri oleh Presiden Joko Widodo ini bahkan disebut membuat internal polri sempat merasa gelisah.
Ia menyatakan berusaha mengikuti pro dan kontra dari proses pergantian dan penunjukan calon kapolri. Ada berbagai macam informasi yang ia dengar dari dalam tubuh kepolisian.

"Tapi saya juga bisa merasakan ada yang gelisah. Semua bisa dibaca kelompok yang gelisah dan tidak gelisah," katanya.
Zaman PKI Mantan Wakapolri ini juga terkejut dengan pencopotan dan isu pengkhianatan terhadap Kabareskrim Komjen Suhardi Alius. Ia pun meminta agar proses pencopotan jabatan ini tak mirip dengan zaman PKI.

"Itu dia saya cari-cari siapa penghianat? Jangan sampai seperti zaman PKI dulu. Dicap ini dicap itu, terus diambil dibunuh. Jangan. Nanti organisasi ini goyang," katanya.

Menurut dia selama ini ia mengenal Komjen Suhardi Alius sebagai orang yang baik. Sehingga agar tak terjadi suatu hal yang meresahkan ada baiknya menggunakan asas praduga tak bersalah.

Oegroseno juga menegaskan akan tetap menjaga integritas Polri saat ini. "Integritas perorangan saya tidak punya hak jaga mereka. Hanya hubungan kedekatan dengan junior saya masih ada," tambahnya.

Selain itu, ia juga meminta Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti sebagai Pelaksana tugas (Plt) Kapolri agar menindak tegas siapapun yang memberikan pernyataan yang meresahkan lingkungan Polri.

Ranah Politik

Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD turut angkat bicara penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Begitu juga, keputusan Presiden Joko Widodo yang secara tiba-tiba mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon kapolri.

Melalui akun twitternya, @mohmahfudmd, ia menyatakan pengusulan nama Budi oleh Presiden sudah sah secara ketatanegaraan. Sementara  KPK, kata dia, juga benar dari aspek hukum pidana.

Namun, yang jadi masalah menurut Mahfud adalah masalah waktu pengajuan Budi sebagai kandidat Kapolri serta momen penetapan Budi sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi oleh KPK.

Dua momen ini dianggap Mahfud membawa kisruh ke ranah politik.Ia beralasan KPK terasa memolitisasi ketika menetapkan BG sebagai tersangka dengan tiba-tiba. Padahal yang dilaporkan memiliki rekening gendut jumlah belasan orang.

Begitu juga, dengan Jokowi yang terkesan tergesa-gesa ingin menggantikan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman yang masa tugasnya masih tersisa Sembilan bulan lagi. "Bukankah atas prrmintaan Presiden sendiri KPK sdh memberi tahu bhw BG bermasalah dan tak proper utk jadi pejabat tinggi?" ucap dia.

Artinya, meski secara hukum dan ketatanegaraan, keduanya melakukan tindakan sah. Namun, sayangnya menimbulkan kisruh ke ranah politik.

Kritik Jokowi

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengkritik langkah yang ditempuh Presiden Joko Widodo dalam memberhentikan Jenderal Polisi Sutarman dan mengangkat Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri. Sebab, kata dia jika Presiden ingin memberhentikan dan mengangkat Kapolri harus terlebih dahulu meminta persetujuan DPR.
 
“Mestinya Presiden dan DPR tahu bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah Sebab baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri dua2nya harus dg persetujuan DPR,” kata Yusril melalui akun twitter pribadinya @Yusrilihza_Mhd , Sabtu (17/1)

Mantan Menteri Hukum dan Ham ini kemudian menyebutkan bisa saja Jokowi memberhentikan Kapolri dan kemudian mengangkat penggantinya tanpa persetujuan DPR. Namun, hal itu lanjut dia dapat dilakukan hanya karena alasan-alasan mendesak.

Pernyataan Yusril ini merujuk kepada UU No 2 Tahun 2002 tentang Kapolri pasal 11 yang mengatur pemberhentian dan pengangkatan Kapolri.

 Pada pasal 11 itu disebutkan pada poin ke lima yaitu “Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Dengan  tidak adanya persetujuan yang diminta Jokowi kepada DPR untuk mengangkat Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, Yusril jadi mempertanyakan alasan-alasan apa yang membuat Presiden tergesa-gesa melakukan pergantian Kapolri.
 
“Alasan mendesak itu hanya dua, yakni jika Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara. Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan Presiden? Saya tidak tahu,” ujar Yusril.(rol/yuk)