Sepinya Pencari Tahta di Sejumlah Daerah

Sepinya Pencari Tahta  di Sejumlah Daerah

Peminat pilkada di tahun 2015 ini
berbanding terbalik dengan peminat pilkada-pilkada sebelumnya yang ramai dengan jiwa para petarung. Di mana di sejumlah daerah sepinya para pencari tahta. Tak hanya maraknya dua pasang calon yang mendaftar, calon tunggal juga ada. Bahkan sebelum KPU membuka pendaftaran kedua, tanpa calon juga ada.

Memperhatikan realitas ini, paling tidak ada lima faktor yang sepertinya ikut andil melahirkan sepinya pencari tahta di sejumlah daerah itu.
Pertama, putusan MK, yaitu Putusan Nomor 33/PUU/XIII-2015 tentang pengujian UU 8/2015 Tentang Perubahan Atas UU 1/2015 Tentang Penetapan Perppu 1/2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU. Di dalam putusan ini, MK menegaskan bahwa angota DPR, DPD, dan DPRD “wajib” mengundurkan diri dari keanggotaan mereka sejak ditetapkan oleh KIP/KPU sebagai peserta calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.
Tentu saja dengan putusan MK ini, angota DPR, DPD, dan DPRD, terutama lagi anggota DPRD setempat yang biasanya ikut mencalon akan berpikir panjang untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota. Sebab, andaikata mereka tak terpilih, posisi mereka sebelumnyapun ikut melayang. Mereka tak lagi menjadi angota DPR, DPD, dan DPRD.

Berbeda halnya dengan aturan persyaratan calon peserta pilkada sebelumnya. Di mana hanya memberitahukan pencalonannya sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota kepada pimpinan DPR bagi anggota DPR, kepada pimpinan DPD bagi anggota DPD, atau kepada pimpinan DPRD bagi anggota DPRD.
Kedua, kegagalan partai politik, baik dalam hal pendidikan politik, rekrutmen politik, maupun kaderisasi politik yang baik. Andaikata tiga hal ini berjalan secara baik, minimnya calon kepala daerah  tidaklah akan terjadi. Ditambah lagi dengan konflik internal yang semakin tak berujung di beberapa partai. Misalkan Golkar dan PPP.

Ketiga, kuatnya figur petahana atau calon lain. Misalkan di Kota Surabaya dan Kabupaten Pacitan. Hal ini kemudian membuat pengurus partai di beberapa daerah berat hati untuk mengusung calon kepala daerah. Jadi ada hitung-hitungan untung rugi di sana. Daripada kalah juga, lebih baik sama sekali tidak maju. Dan ini tidak hanya terjadi di pilkada. Di pilpres 2014 pun juga terjadi, ketika Aburizal Bakri tidak jadi dicalonkan sebagai calon presiden. Ini kali pertama Golkar tidak mengusung calon presiden sendiri.

Mindset seperti ini seharusnya dirubah. Tak ada yang mustahil dalam politik. Pengalaman berpolitik di negeri ini mencatat bahwa tidak selamanya calon kuat memenangkan pertarungan di dalam Pilkada. Misalkan di Pilkada Jawa Barat. Calon kuat sekaliber Agum Gumelar mampu duluhlantahkan oleh Ahmad Heryawan. Bagitu juga Bibit Waluyo dikalahkan oleh Ganjar Pranowo di Pilkada Jawa Tengah. Tak terkecuali juga sebelumnya, kemenangan Jokowi atas Fauzi Bowo. Berdasarkan survei ketika itu, Jokowi bukan apa-apa dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Tapi nyatanya takdir berkata lain.

Keempat, terhambat mahar politik. Ada pameo dalam politik, bahwa tidak ada makan siang gratis dalam politik. Mahar politik dalam pilkada bukanlah sesuatu yang datang belakangan ini saja. Keberadaannya bukanlah sebuah rumor atau fitnah belaka. Dia ada. Dulunya juga begitu. Terkadang bukan sekedar satu atau dua milyar saja, bahkan mencapai puluhan miliar.
Tentu saja dalam hal ini, orang-orang yang sehat akan berpikir juga. Lebih baik tak usah mencalonkan. Belum ditetapkan sebagi calon saja, sudah menghabiskan dana milyaran rupiah. Belum lagi untuk tim sukses minta ini, minta itu. Terlebih lagi juga belum tentu juga menang.

Kelima, maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia belakangan ini. Paling tidak ini juga menjadi pertimbangan utama seseorang untuk mencalon di pilkada. Sepandai-pandainya tupai melompat, tapi jatuh juga.

Harus diakui bahwa ongkos politik di negeri ini besar. Pedagang di pasar saja tak ada yang ingin rugi. Terlebih lagi “pedagang” di pilkada, tentu saja mereka juga ingin untung. Akhirnya mereka melakukan manuver melalui kebijakan-kebijakan haram untuk mengembalikan dana mereka keluarkan dulu. Akhirnya takdirpun mempertemuklan mereka dengan KPK. Sebab pendapatan mereka tidaklah sebanding dengan dana yang mereka keluarkan dulu mulai dari beli “perahu” untuk mendaftar ke KPU sampai dengan dana kampanye.

Oleh karenanya, untuk jangka panjang, ke depannya sudah seharusnya para pengambil kebijakan di negeri ini untuk memikirkan kembali bagaimana membuat murahnya penyelenggaraan pilkada. Begitu juga dengan partai politik agar tidak megganjal melalui sejumlah mahar yang harus dibayar. Sebab selama ini ada “perdagangan politik” di pilkada itu, kendatipun beberapa pihak tidak mengakuinya.

Di penghujung artikel ini, saya mengajukan dua pertanyaan, bagaimana jika terdapat calon tunggal di pilpres 2019 mendatang? Sudahkah kita punya aturan tentang itu?.***