dukungan Terus mengalir

Kader Soksi Kawal Pasal Penghinaan

Kader Soksi Kawal  Pasal Penghinaan

JAKARTA (HR)-Ketua Umum Depinas Soksi Ade Komaruddin menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Jokowi-JK, dengan meminta kadernya yang duduk di DPR untuk mengawal pembahasan perubahan UU penghinaan presiden.

"Munas mengamanatkan kepada saya untuk terus ikut mendukung dan mengamanatkan pemerintahan yang sah, yang secara konstitusional berada di bawah pimpinan Jokowi-JK," ujarnya.

Musyawarah SOKSI malam ini telah mengamanatkan posisi Ketua Umum kepada Ade Komarudin untuk yang kedua kalinya. Menurutnya, SOKSI dalam pembahasan UU KUHP tentang penghinaan presiden meliputi beberapa hal.


"Pertama, berdasarkan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, jangankan Presiden, rakyat biasa pun tidak boleh dihina," ujarnya.

Dia juga mengatakan, dalam mewujudkan demokrasi yang sehat, kritik konstruktif tidak dapat dibentuk, sehingga kebebasan berpendapat harus tumbuh berkembang.

"Lebih dari itu, saya berpesan kepada kader di DPR, pasal penghinaan Presiden yang diatur harus jauh dari pasal karet," tutupnya diiringi tepuk tangan para kader SOKSI.

Ade Komarudin secara resmi dilantik sebagai Ketua Umum dalam Depinas Soksi masa bakti 2015-2020 dan Rapat Kerja Nasional I SOKSI.

 

Gurauan Jokowi

Presiden Joko Widodo melontarkan gurauan saat menyampaikan pidato di hadapan dewan pimpinan nasional Soksi. Jokowi menyampaikan, saat menyaksikan pelantikan Depinas Soksi di panggung, wajah yang paling diingat Jokowi adalah Wakil Ketua Umum Soksi, Bambang Soesatyo.

"Yang saya ingat hanya satu, Pak Bambang Soesatyo. Kalau mengkritik saya pedes sekali," kata Jokowi dalam sambutannya, di Jakarta, Sabtu (8/8).

Hanya saja kritik yang dilontarkan Bamsoet tak masuk pasal penghinaan. Bahkan ia meminta Bambang terus melakukan kritik kepada  pemerintah.

Menurut Jokowi, kritik pedas yang disampaikan Sekretaris Fraksi Partai Golkar di DPR merupakan bentuk perhatian pada pemerintah. Jadi, Jokowi maupun pemerintah tidak memermasalahkan kritik yang dilontarkan Jokowi.

"Kritik itu tanda perhatian dan tanda cinta," imbuh mantan Walikota Solo ini.

Kata Jokowi, kritik yang disampaikan Bendahara Umum Partai Golkar hasil munas Bali ini tidak masuk dalam pasal penghinaan. Bahkan, mantan Gubernur DKI Jakarta ini meminta apa yang dilakukan Bambang Soesatyo terus dilakukan.

Yaitu melontarkan kritik-kritik pedas ke pemerintahan. "Itu tidak masuk pasal penghinaan, jadi diteruskan saja tidak masalah," kata Jokowi.
 

Lemahkan Jokowi

Rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dinilai justru memperlemah posisi Presiden Joko Widodo di mata masyarakat.

"Ini malah mengesankan kalau Jokowi presiden yang anti kritik," ucap pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Teguh Yuwono dikutip dari ROL, Sabtu (8/8).

Ia menyarankan Jokowi tidak usah mengambil langkah itu. Kalau ingin meredam pelecehan verbal, visual, atau fitnah yang ditujukan padanya maka Jokowi dapat menggunakan pasal pencemaran nama baik.

"Kalau Presiden tidak happy, ya tinggal dipidanakan saja dengan pasal pencemaran nama baik," katanya.

Adanya pasal penghinaan presiden, kata Tegh, sama saja seperti menghidupkan kembali zaman orde baru. Sebenarnya tanpa pasal penghinaan presiden, Jokowi akan baik-baik saja. Tidak semua orang berani menghina Presiden.

"Hanya orang-orang nekat saja yang berani, jadi tidak perlu lah dibuat pasal baru karena sudah ada mekanisme lama di situ," ucapnya.
Lagipula, Jokowi mempunyai staf ahli yang bisa bertindak apabila martabat presiden ke tujuh tersebut dilecehkan.

Meski begitu Teguh tidak melihat rencana pemasukan kembali pasal tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kemunduran demokrasi.

"Jokowi hanya kurang siap menerima kritik dan masukan masyarakat atau jangan-jangan justru timnya Jokowi yang tidak siap," ujar Teguh.

Namun dikhawatirkan pasal penghinaan presiden akan membuat kebebasan berpendapat menjadi terancam. Pasalnya, aturan itu merupakan pasal karet yang bisa ditafsirkan sesuai kehendak hati penguasa.(rol/dtc/yuk)