Soal Undang-undang KPK

Jokowi Menolak, DPR Ngotot Revisi

Jokowi Menolak, DPR Ngotot Revisi

JAKARTA (HR)-Drama tentang rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga kini terus berlanjut.
 
Meski Presiden Joko Widodo telah menyatakan menolak rencana revisi undang-undang tersebut, namun pihak DPR tetap ngotot untuk terus menindaklanjutinya.

Perihal penolakan dari Presiden Jokowi itu dilontarkan anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, Jumat (19/6) di Istana Negara. Menurutnya, Presiden menolak karena dengan merevisi UU tentang KPK, Jokowi dinilai justru memperlemah lembaga antirasuah tersebut.

"Tidak ada alasan untuk merevisi, karena memperkuat KPK itu sekarang justru penting. Revisi itu akan memperlemah," ujarnya.

Menurutnya, penolakan Presiden Jokowi tersebut akan ditindaklanjuti Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Hukum dan HAM.

"Kalo pemerintah sekarang sudah ditegaskan, presiden tidak mau revisi kan harus dikeluarkan dari Prolegnas. Nah itu Mensesneg yang akan menolak," tambah Teten.

Artinya polemik mengenai revisi UU KPK yang berkembang sekarang ini bagaimana?
"Sudah selesai," jawab Teten.
 
Namun sikap berbeda dilontarkan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon. Menurutnya, revisi UU KPK tidak bisa lagi dihindari. Sebab, rencana revisi tersebut UU sudah masuk dalam prolegnas.

"Masalahnya itu kapan, apakah tahun ini 2015 atau tahun-tahun ke depan. Saya kira lebih cepat lebih bagus karena KUHP juga sudah masuk dari pemerintah. Tidak ada yang luar biasa kalau merevisi UU termasuk UU KPK, karena banyak juga kelemahannya dalam UU itu," ujar Fadli Zon, usai buka bersama di Istana Negara, Jumat sore kemarin.

Menurutnya, salah satu poin yang harus direvisi adalah terkait pengangkatan penyidik independen. Padahal menurutnya penyelidik itu harusnya berasal dari Kepolisian. "Dari banyak diskusi, penyelidik itu harus dari Kepolisian. Kalau KPK membuat penyelidik independen tersendiri itu berarti menjadikan institusi baru, di luar Kepolisian dan Kejaksaan," terangnya.

Menurut Fadli saat ini adalah momentum tepat untuk melakukan revisi UU KPK. Sebab sejauh ini sudah tiga kali KPK dikalahkan dalam sidang praperadilan.

"Ini satu momen yang bagus karena sudah tiga kali KPK dikalahkan dalam sidang praperadilan dengan masalah yang berbeda-beda, kurang dua alat bukti, kemudian masalah penyidik yang tidak legal, kan berbahaya, akan kalah terus KPK nanti," imbuhnya.

Sementara terkait penolakan dari pemerintah, Fadli menjelaskan, lebih disebabkan faktor teknis. Sebab, pemerintah menilai rencana revisi belum masuk dalam Prolegnas prioritas. "Kalau dalam prolegnas ada, sudah pasti. Saya garis bawahi sudah pasti akan direvisi, cuma apakah tahun ini atau tahun depan. Bukan dibatalkan tetapi masalah waktunya saja," tutupnya.
 
Ketua sementara KPK Taufiequrrachman Ruki juga menyatakan, Presiden Jokowi telah menolak rencana revisi UU KPK tersebut. Pihaknya menilai, keputusan itu merupakan bukti nyata berpihaknya Jokowi pada pemberantasan korupsi.

"Presiden menyatakan menolak revisi Undang-Undang KPK. Dari kami, itu melegakan sehingga tidak ada lagi saling mencurigai," ujarnya, seusai mengikuti rapat terbatas bersama Jokowi di Kantor Presiden, Jumat kemarin.

Dalam rapat tersebut, hadir juga Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala PPATK M Yusuf, Jaksa Agung HM Prasetyo, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago.

Rapat itu digelar khusus untuk membahas rencana nasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ruki menuturkan, Presiden Jokowi juga meminta agar KPK, Polri, dan kejaksaan untuk bersinergi dalam memberantas korupsi.

"Pesan Pak Presiden, kami bertiga agar bersinergi dan dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan dari pemerintah untuk melemahkan KPK," ujarnya.

Ditambahkannya, jika Presiden sudah menyatakan menolak, DPR tidak dapat memaksakan melanjutkan rencana revisi itu. "Kalau Presiden menolak kan DPR sebagai salah satu pembuat Undang-Undang tidak bisa memaksakan," tambahnya.

Ruki mengaku sangat lega setelah mendengar sikap tegas Presiden Jokowi yang menolak revisi UU KPK. Ia menilai, penolakan itu sebagai bukti nyata adanya dukungan dari pemerintah pada pemberantasan korupsi.

Ruki melanjutkan, revisi UU KPK sebetulnya merupakan program legislasi nasional DPR untuk tahun 2016. Ia mengaku tak memahami jika kemudian rencana revisi UU tersebut dipercepat menjadi tahun ini.

Ruki sebelumnya berpendapat, lebih baik revisi UU KPK menunggu sinkronisasi dan harmonisasi dari semua undang-undang terkait penegakan hukum.
 
"Lebih baik tuntaskan dulu revisi UU KUHP, KUHAP, penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, juga Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang," kata Ruki saat rapat dengan Komisi III DPR di Jakarta.

Ada lima peninjauan dalam rencana revisi UU KPK. Adapun yang menjadi sorotan publik ialah poin terkait pengetatan kewenangan penyadapan, dibentuknya dewan pengawas KPK, dan diatur kembali mengenai pengambilan keputusan yang kolektif kolegial. (bbs, kom, dtc, ral, sis)