Hanura Nyatakan Menolak

Dana Aspirasi DPR Masih Pro Kontra

Dana Aspirasi DPR Masih Pro Kontra

JAKARTA (HR)-Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan atau yang lebih populer disebut Dana Aspirasi Dapil DPR, hingga kini masih menjadi pro dan kontra di kalangan anggota DPR sendiri.

Meski ada yang mendukung dana sebesar Rp20 miliar untuk setiap anggota DPR RI tersebut, ada juga yang menolaknya. Salah satu fraksi yang menyatakan menolak dana aspirasi tersebut adalah Fraksi Partai Gerindra.

Menyikapi hal itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Muhammad Misbakhun, menyebutkan, Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) merupakan amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Tujuannya untuk mendekatkan anggota DPR dengan masyakarat.

"Program itu sesuai dengan usulan atau program yang disampaikan oleh masyarakat di daerah pemilihan (dapil)
Dana Aspirasi masing-masing anggota DPR. Selain usulan masyarakat, juga bisa usulan camat, bupati dan gubernur," ujarnya, dalam dialektika demokrasi ‘Pro-Kontra Dana Aspirasi’ bersama anggota Fraksi PDIP Effendi Simbolon, pengamat politik Universitas Al-Azhar Jakarta, Rakhmat Bagdja dan pengamat politik dari Unhas Makassar, Adi Suryadi Cula, di Gedung DPR, Kamis (18/6).

"Program ini untuk memperkuat keterwakilan di dapil masing-masing untuk membangun transparansi dan akuntabilitas anggota DPR. Dana tersebut tidak dipegang anggota DPR dan seluruh penggunaan anggaran tersebut akan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),"  ujarnya.

Namun demikian, Effendi Simbolon mempersoalkan nomenklatur dana aspirasi yang bisa menimbulkan berbagai interpretasi. Apalagi dalam bentuk uang Rp20 miliar setiap anggota DPR. Padahal sudah ada dana tunjangan reses sebesar Rp150 juta setiap kali reses.

“Jadi, sejak awal saya menolak program ini karena tak ada dalam Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) anggota DPR mengingat DPR bukan eksekutor. Di mana sebanyak 560 anggota DPR X Rp20 miliar X 5 tahun = Rp12 triliun. Lalu, apa uang Rp12 triliun itu sudah menjadi kewenangan pemerintah dan juga dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang)?” katanya.

Kalau berurusan dengan rakyat di Dapil, lanjut Effendi Simbolon, DPR tinggal mengawasi pelaksanaan anggaran pembangunan yang sudah dialokasikan dalam Musrenbang. “Kan ada dana alokasi khusus  (DAK), dana alokasi umum (DAU) dan dana transfer daerah, yang jumlahnya ratusan miliar rupiah. Tapi, kalau hanya sebagai usulan, tak masalah. Jadi, saya percaya pada tim UP2DP sepanjang bisa mengakomodir berbagai kekhawatiran terhadap dana aspirasi yang bisa diselewengkan untuk pencitraan politik. Namun, kalau tidak bisa, ya tidak usah dipaksakan,” pungksnya.

Rakhmat Bagdja menegaskan jika program anggaran dan pengawasan antara DPR dan pemerintah harus sama-sama kuat. Dia mencontohkan dalam kasus pembangunan Universitas Andalas Sumatera Barat yang rusak akibat gempa. Dimana anggaran pembangunannya masih kurang Rp80 miliar dan sampai saat ini terbukti tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat, sehingga macet.
“Nah, dalam kasus seperti inilah DPR RI bisa mendesak pemerintah merealisasikan pembangunan kampus itu dan itu bisa dialokasikan melalui program UP2DP ini,” tegas Rakhmat.

Hanya saja kemudian menjadi masalah katanya adalah nomenklaturnya yang seharusnya mengawasi dana aspirasi yang dijalankan pemerintah. “Usulan itu bagus dan tidak melanggar check and balances, maka fungsi DPR harus diperkuat dalam mengawasi pelaksanaan APBN Rp2.400 triliun. Apalagi KPK makin hancur,” ujarnya.

Adi Suryadi Cula menilai program UP2DP itu pragmatis, sehingga tak terlihat urgensinya bagi fungsi DPR sendiri, apalagi di tengah citra DPR yang masih buruk. “Saya khawatir implementasi dari program ini untuk menangani Rp20 miliar per anggota. Mafia baru bisa muncul dalam pengelolaan anggaran ini. Untuk itu, ide yang bagus ini mekanismenya perlu dijelaskan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan berbagai kecurigaan masyarakat,” ujarnya.

Di tempat terpisah, Ketua Fraksi Partai Hanura DPR RI, Ir Nurdin Tampubolon, menegaskan pihaknya menolak usulan dana aspirasi tersebut. Kebijakan itu ditempuh karena usulan tersebut dikhawatirkan akan menyakiti rakyat.

Ada beberapa dasar pemikiran yang menjadi alasan penolakan tersebut. Di antaranya, pihaknya belum melihat urgensi usulan itu. Selain itu, pihaknya tidak ingin mengambil tugas-tugas yang bukan menjadi fungsi DPR, karena hanya akan menimbulkan masalah baru dan tumpang tindih program dengan pemerintah.

Fraksi Hanura juga menilai, program dana aspirasi belum menjadi hal yang prioritas, mengingat selama ini setiap anggota DPR sudah difasilitasi dengan dana reses dan kunjungan dapil dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan. Karena itu, pihaknya memilih untuk lebih fokus mengawal program pemerintah yang masih belum maksimal utamanya mengenai perlambatan ekonomi. (sam, grc)