Ramadan dan Kesederhanaan OLEH: H Arsyadjuliandi Rachman (Plt Gubernur Riau)

Ramadan dan Kesederhanaan OLEH: H Arsyadjuliandi Rachman (Plt Gubernur Riau)
Marhaban yaa Ramadan,...
Kalimat suka cita menyambut datangnya bulan yang agung (Ramadan) di atas, bagi muslim yang beriman agaknya tak akan cukup untuk mengungkapkan rasa bahagia sekaligus haru. Tersebab, begitu mendalamnya makna keagungan dan Ramadan 
kemuliaan serta keberkahan Ramadan, sehingga kedatangan bulan ini sangat dinanti bahkan diimpikan setiap mukmin.
 
Ramadan di Indonesia sama seperti Ramadan di berbagai belahan dunia lainnya, selalu disambut penuh dengan rasa euforia, mulai dari ibadah hingga perilaku konsumtif. Saat harga barang yang melonjak naik, tidak serta merta menyurutkan daya beli. Perputaran uang dalam pasar begitu besar, seolah-olah semua orang mendapat rezeki lebih, dan itu dialami berbagai kalangan mulai dari pengemis hingga pengusaha. Memang, Ramadan bulan penuh berkah, bulan dengan berbagai keutamaan dan penuh hikmah, bulan yang teramat sangat spesial.
 
Begitu banyak keutamanan puasa yang Allah SWT berikan kepada kita, Bahkan puasa Ramadan  adalah ibadah yang Allah sendiri menjadi juri atas apa yang kita lakukan. Ibadah rahasia yang hanya diri kita dan Allah yang mengetahui, sejauh mana usaha maksimal yang kita lakukan untuk menahan diri dari segala larangan-Nya dan sebaliknya mentaati dan menjalankan segala perintah-Nya.
 
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW bersabda: setiap satu kebajikan yang dikerjakan oleh anak Adam, maka Allah akan melipat gandakan pahala kebajikan tersebut dengan sepuluh kebajikan hingga tujuh ratus lipat kebajikan, kecuali pahala puasa. Karena sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan untuk-Ku, maka Akulah yang langsung menilai dan memberi balasan pahala dari puasa tersebut. Puasa merupakan tameng. Orang yang berpuasa, baginya dua kebahagiaan. Pertama: Kebahagiaan di kala berbuka, Kedua: Kebahagiaan ketika bertemu langsung dengan Tuhannya, kelak di hari akhir. (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Tarbiyah Ramadhan
Kewajiban puasa di bulan Ramadhan merupakan satu bentuk tarbiyah (pembelajaran) dari Allah SWT, bagi hamba-hamba-Nya yang beriman agar menjadi insan yang bertaqwa sebagaimana firman-Nya di dalam QS. Al-Baqarah ayat 183: "…agar kalian bertaqwa."
 
Di antara prediket yang melekat erat dengan Ramadan, adalah bulan tarbiyah atau bulan pendidikan. Luasnya cakupan tarbiyah Ramadan meliputi semua dimensi kehidupan (jasadiyah, fikriyah dan qolbiyah) untuk bekal ummat muslim di dunia dan akhirat. Yang lebih penting lagi, keutamaan Tarbiyah Ramadhan, kita dibimbing dan dilatih langsung oleh Allah SWT. Kita dilatih disiplin, dilatih menahan diri dari nafsu duniawi, dilatih makan dan minum yang halal dan thoyibah.
 
Hemat, esensi hakiki Ramadhan
Dari sekian banyak hikmah Ramadan, terkadang kita lupa dengan makna esensial dan hakikinya yakni hemat (sederhana). Bukankah dengan puasa Allah SWT mengajarkan kita untuk menahan diri dan mengendalikan hawa nafsu, sebagaimana makna awam tentang puasa (saum). Di saat Ramadan, Islam tidak mengajarkan perilaku (pola) hidup konsumtif atau gaya hidup yang berlebih-lebihan. Justru sebaliknya, patutnya Ramadan menjadi mementum tarbiyah berhemat dan berbagi.
 
Bulan Ramadhan juga saat yang tepat untuk melatih pola hidup sederhana dan melakukan penghematan. Setiap hari, minimal pada masa berpuasa umat Islam serentak tidak melakukan aktivitas konsumsi yaitu makan dan minum. Aktivitas konsumsi bisa dilakukan kembali dimulai setelah datangnya waktu berbuka hingga waktu sahur habis saat subuh. 
Saat waktu berbuka puasa, makan malam dan juga sahur, biasanya umat muslim melakukannya bersama-sama keluarga. Saat-saat tersebut adalah waktu yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada keluarga khususnya kepada anak-anak.
 
Saat berbuka puasa, sebaiknya dihidangkan makanan dan minum yang tidak berlebihan apalagi bermewah-mewah. Berbuka cukup sekedarnya untuk membatalkan puasa. Sebagaimana tuntunan Nabi, cukup dengan kurma dan air putih. Selesai berbuka, maka sebaiknya melakukan jeda untuk makan malam (makan berat) dengan terlebih dahulu melaksanakan salat Magrib. 
 
Hal ini untuk memberi kesempatan kepada perut untuk menyesuaikan diri agar lebih siap menerima makanan dan minuman yang lebih berat dan lebih banyak. Makan malam sebaiknya dilakukan paling cepat setelah salat Magrib. Hal ini kembali menambah porsi latihan mengendalikan diri meskipun waktu berpuasa telah lewat. Makan malam juga sebaiknya dilakukan dengan kesederhanaan. 
 
Kata hemat juga berasal dari kata iqtishad (ekonomi), qashada atau iqtashada, yang berarti seimbang atau hemat, lawan dari berlebihan atau boros. Ekonomi merupakan sisi pokok kehidupan, bahkan salah satu tujuan pokok ajaran Islam adalah mewujudkan kesejahteraan.
 
Dalam kehidupan ini, semua manusia membutuhkan hidup sejahtera, damai, dan tidak ada gangguan. Akan tetapi, Allah memberi setiap ujian bagi manusia agar menjadi kuat menghadapinya. Satu di antara ujian kehidupan yang sering dikeluhkan banyak manusia adalah kekurangan dalam masalah ekonomi. Kekurangan itu bisa jadi lantaran manejemen ekonomi yang kurang tertata dengan baik.
 
Hidup hemat itu baik, sebab hemat bukan berarti pelit. Tetapi hemat berarti melakukan persiapan untuk menghadapi kekurangan ketika Allah SWT menguji dengan kekurangan, sehingga kita mampu menghadapinya, meski kita tak pernah tahu apa rencana Allah kedepan bagi kita. Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah-lah yang menentukan segalanya. 
 
Lebih jauh lagi, hemat merupakan modal untuk kemaslahatan generasi setelah kita. Sebagaimana nasehat Rasulullah SAW, “Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin. Mereka menerima kecukupan dari orang lain. Mungkin orang lain memberinya atau mungkin menolaknya. Sesungguhnya tidaklah engkau memberikan nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali engkau akan mendapat pahala dari-Nya.” (HR. Muttafaq’alaih).
 
Dalam konteks Riau kekinian, kesederhanaan dan pola hidup hemat sudah patut dan menjadi suatu keniscayaan. Riau tidaklah lagi sebagai negeri dengan yang kaya. Kekayaan sumber daya alam Riau, khususnya minyak dan gas yang menjadi kebanggaan, semakin menurun produksinya bahkan memasuki masa senja untuk selanjutnya habis. Bilang pembagi kue pembangunan Riau semakin besar, walau secara nominal dana pembangunan bertambah setiap tahun. Bukankah beban lonjakan penduduk, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, serta fasilitas umum dan sosial  lainnya (pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan) juga semakin besar.
 
Tersebab itulah, para petinggi dan penyelenggara pemerintahan wajib menyadari hal tersebut. Perumusan dan penyusunan anggara pembangunan, mestilah dalam mindset kesederhanaan dan hemat (efisien dan efektif). Paradigma membuat program untuk menghabiskan anggaran yang ada, di ubah dengan paradigma optimalisasi anggaran dengan perspektif jangka panjang. Perencanaan pembangunan dibuat secara visioner, 25 bahkan 50 tahun ke depan.
 
Demikian juga pola hidup bermewah-mewahan (hedonisme dan konsumerisme) yang selama ini dipertontonkan oleh pejabat dan pegawai pemerintahan sudah saatnya dihilangkan. Penyelenggara birokrasi adalah pelayan rakyat dan panutan masyarakat. Sepatutnya lebih bijak memberikan contoh yang baik.
 
Selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan dengan penuh ridho dan keikhlasan agar kita dapat menggapai insan Muttaqin. Amiin...