Sengketa PT BMP dan PT KAI

Kedua Pihak Sebaiknya Tempuh Jalur Hukum

Kedua Pihak Sebaiknya Tempuh Jalur Hukum

PADANG (HR)-Proses hukum adalah langkah yang paling bijak untuk menyelesaikan sengketa antara PT Basko Minang Plaza dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Divre II Sumbar. Sengketa ini menyangkut hak penggunaan lahan yang berada di dekat area pintu masuk parkir Basko Hotel dan Grandmall.

Pendapat itu dikemukakan pakar hukum agraria Universitas Andalas (Unand) Prof Kurniawarman dan pengamat hukum dari Universitas Eka Saksi (Unes) Dr Otong Rosadi, Senin (8/6).
 
Menurut Kurniawarman, jika memang negara telah memberikan hak guna kepada suatu pihak atas suatu lahan, maka hak tersebut secara sah dapat digunakan sepenuhnya. Namun, jika terjadi tumpang tindih dengan pihak lain yang merasa juga memiliki hak, maka proses hukum adalah proses paling bijak untuk menyelesaikannya.

“Yang saya pahami, hak PT BMP didapatkan berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN, itu sah. Sedangkan PT KAI merasa berhak pula dengan dasar hukum perkeretaapian, bahwa 6 meter di kiri dan kanan rel adalah kawasan bebas bangunan. Jika sudah seperti ini patut dilihat juga sisi kegunaan dari kedua pihak,” jelasnya.

Hanya saja, Kurniawarman menilai jika wilayah perkeretapian tidak serta merta langsung jatuh menjadi aset PT KAI. Tepatnya, wilayah perkeretaapian adalah wilayah yang disediakan pemerintah untuk kelancaran arus transportasi kereta api.

“Jika disandingkan dengan daerah milik jalan, belum tentu suatu ruas jalan yang dikelola oleh Perum Damri menjadi milik Damri, tapi memang Damri berhak menggunakannya untuk kepentingan transportasi angkutan darat. Dalam hal ini, PT KAI juga bertindak sebagai operator, sedangkan pemiliknya tetap pemerintah,” tukasnya.

Sebagaimana diketahui, Hak Guna Bangunan atas di area pintu masuk Basko Grandmall sudah diperoleh oleh PT BMP dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Padang pada 1994 lalu. Sedangkan PT KAI menegaskan bahwa klaim atas lahan tersebut sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku tentang perkeretaapian, tepatnya UU No. 23 Tahun 2007 mengenai jarak 6 meter di kedua sisi rel yang harus bebas dari bangunan liar.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara, dari Unes Otong Rosadi menilai bahwa kedua belah pihak, antara PT BMP dan PT KAI mempunyai alasan secara keperdataan untuk melakukan klaim atas lahan yang diperdebatkan tersebut.

Otong  melihat bahwa sudah sepatutnya kasus ini dibawa ke ranah hukum perdata. Karena masing-masing pihak memiliki kepentingan keperdataan dalam mempertahankan haknya. PT BMP merasa berhak karena sudah jelas memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan. Sedangkan PT KAI juga merasa berhak karena sesuai dengan Undang-undang Perkeretaapian.

Otong mengatakan, sebelumnya persoalan klaim lahan antara PT BMP dengan PT KAI sudah dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan dan dimenangkan pihak PT BMP. Namun jika titah PTUN tidak dipatuhi karena dianggap tidak memiliki kekuatan, maka wajar saja jika salah satu atau kedua pihak menempuh jalur hukum lainnya.

“Bagaimanapun persoalan hukum itu harus diselesaikan secara hukum pula. Karena ini mutlak soal saling klaim hak dan adanya ketetapan hukum yang tumpang tindih, maka lebih baik dibawa ke ranah perdata saja,” ujarnya lagi.

Seperti diberitakan kemarin, Kapolresta Padang melalui surat nomor B/37/VI/2015/Resta meminta dan menyarankan PT KAI Divre II Sumbar menunda pelaksanaan penertiban, pemasangan patok di area belakang eks Kantor PBB, Air Tawar Padang yang merupakan akses gerbang masuk PT BMP. Tapi PT  KAI Divre II Sumbar tidak menghiraukannya dan malah merusak dan memancang gerbang tersebut, Sabtu (6/6) sekitar pukul 08.00 WIB. (h/mg-isq)